SABAR DAN SYUKUR DALAM MENJALANI KEHIDUPAN

 

Oleh: Syamsul Yakin
Pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar Parung Bingung Kota Depok Disampaikan dalam Pembinaan Karakter ASN Kota Depok Rabu 9 Maret 2022

Psikologi syukur dan sabar, kurang lebih, seperti yang digambarkan al-Qur’an, “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. al-Hadid/57: 23). Jadi, syukur tidak boleh diekspresikan dengan sombong.

Dari ayat di atas dapat dipahami, pertama, orang yang bersabar itu secara psikologis tidak mudah berduka cita atas apa yang tidak berhasil diraihnya. Ia justru mengarahkan dirinya untuk bersabar. Kedua, orang yang bersyukur itu adalah orang yang tidak terlalu gembira dengan nikmat yang Allah anugerahkan. Ia mengarahkan hatinya agar bersyukur. Inilah kiranya yang disebut dengan makna syukur dan sabar secara terminologis.

BACA JUGA:  Pembinaan ASN Kelurahan Sukamaju Baru

Orang yang bersyukur paham betul bahwa nikmat yang diberi sejatinya adalah anugerah Allah, bukan miliknya. Sebagai bukti syukur dia menyebut-nyebut pemberian tersebut dengan ungkapan syukur kepada Allah. Selain itu, karena orang yang bersyukur memahami nikmat didapat karena ridha-Nya, maka ia membagi-bagi nikmat tersebut, agar kembali meraih ridha-Nya. Dalam literatur, inilah yang disebut dengan rukun syukur.

Sementara, bagi Syaikh Nawawi dalam Nashaihul Ibad, seseorang baru dikatakan bersabar apabila memenuhi tiga rukun. Pertama, menahan diri dari membenci ketentuan Allah. Kedua, menahan lidah dari pembicaraan yang jelek. Ketiga, menahan tangan dari menampar dan merobek kantung baju, tidak berteriak-teriak, tidak menghitamkan muka, dan tidak meletakkan benda semisal tanah di atas seperti kepala.

Terkait relasi syukur dan sabar yang diharapkan keduanya jadi pedoman dalam kehidupan seseorang, Nabi menyatakan, “Seorang mukmin itu sungguh menakjubkan, karena setiap perkaranya itu baik. Namun tidak akan terjadi demikian kecuali pada seorang mukmin sejati. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar, dan itu baik baginya,” (HR. Muslim).

BACA JUGA:  Di Pulau Lancang Kep Seribu Selatan, 21Wisatawan Diwajibkan Taat ProKes dan Scan PeduliLindungi

Berdasar hadits ini dapat dipahami sejumlah relasi syukur dan sabar. Pertama, relasi kedunya menghasilkan pujian dari Nabi. Orang yang bersukur dan bersabar digelari sebagai mukmin sejati. Indikatornya, meminjam bahasa Nabi, ”Setiap perkaranya itu baik”, baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Maka wajar saja kalau Nabi memuji orang yang mengaitkan syukur dan sabar dengan ungkapan “Sungguh menakjubkan”.

Kedua, bagi mukmin sejati kesenangan tidak membuatnya memamerkannya di muka publik. Kesenangan bagi mukmin sejati diekspesikan dengan bersyukur. Sementara, kesusahan tidak membuatnya mengeluh, malah membuatnya bersabar. Relasi syukur dan sabar menghasilkan pribadi yang tidak cepat gembira dan mudah bersedih. Kesedihannya justru manakala dia tidak bersyukur dan bersabar. Pun, sebaliknya.

BACA JUGA:  PMI Kota Palembang Pelajari Layanan Kepalangmerahan di Jakarta Utara

Ada yang menarik, ternyata sabar dan syukur digandengkan dalam satu ayat. Misalnya, “Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebahagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur” (QS. Lukman/31: 31).

Ayat ini menggambarkan relasi sangat sabar dan banyak bersyukur menghasilkan pribadi yang akan diperlihatkan sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah. Namun dalam ayat ini yang dimaksud dengan sabar, setidaknya menurut pengarang Tafsir Jalalain, adalah menahan diri dari berbuat dosa. Namun jadi menarik, karena ternyata secara terminologis, sabar bukan hanya berarti seperti yang disebutkan di atas, tapi menahan diri dari yang dilarang Allah.*

Pos terkait